Ditulis Oleh: Wahid Suharmawan
Aaron
T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling yang
dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan
cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang.
Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi
perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi
atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli.
Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang
dan sistem kepercayaan untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah
yang lebih baik.
Matson
& Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-behavior therapy
yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara
spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus
konseling yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. Para ahli yang
tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists
(NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy
yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang
penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan.
(NACBT, 2007).
Teori
Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 6) pada dasarnya meyakini
pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon
(SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak
manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan
bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Sementara dengan adanya
keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang
rasional dan irasional, di mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan
gangguan emosi dan tingkah laku yang menyimpang, maka CBT diarahkan pada
modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran
otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan
kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya,
konseli diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi
positif. Berdasarkan paparan definisi mengenai CBT, maka CBT adalah
pendekatan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya
baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan konseling yang dilakukan
untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling ini akan
diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan
menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan, bertanya,
bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan, pendekatan pada aspek
behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Tujuan dari
CBT yaitu mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan
pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan
membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan CBT
diharapkan dapat membantu konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan
bertindak.
Tujuan
Konseling CBT
Tujuan
dari konseling Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9)
yaitu mengajak konseli untuk menentang pikiran dan emosi yang salah
dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka
tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong konseli
untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan
secara kuat mencoba menguranginya.
Dalam
proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007; Oemarjoedi,2003) berasumsi
bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalamkonseling. Oleh sebab
itu CBT dalam pelaksanaan konseling lebih menekankan kepada masa kini dari
pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT tetap
menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat
konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola
pikir masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh
sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini
untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.
Fokus
Konseling
CBT
merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi
atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan
dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan
dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara
berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli
belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan
aspek behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah
perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta
berpikir lebih jelas.
Prinsip
– Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
Walaupun
konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau
permasalahan konseli, tentunya konselor harus memahami prinsip-prinsip
yang mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip ini diharapkan
dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam merencanakan
proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-teknik CBT. Berikut
adalah prinsip-prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan
oleh Beck (2011):
Prinsip
nomor 1: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada formulasi yang terus
berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli.
Formulasi konseling terus diperbaiki
seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada
momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan
konseptualisasi kognitif konseli yang menyimpang dan meluruskannya
sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara berfikir, merasa
dan bertindak.
Prinsip
nomor 2: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama
antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang penuh dengan
kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan
konseli akan membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang
dihadapi konseli. Kondisi tersebut akan menunjukan sebuah keberhasilan
dari konseling.
Prinsip
nomor 3: Cognitive-Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi
aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka keputusan
konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli akan
lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli
mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.
Prinsip
nomor 4: Cognitive-Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus
pada permasalahan. Setiap sesi konseling selalu
dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui
evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran
yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada permasalahan
konseli.
Prinsip
nomor 5: Cognitive-Behavior Therapy berfokus pada kejadiansaat ini. Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli
pada saat ini dan di sini (here and now). Perhatian konseling
beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber
kekuatan dalam melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada
proses berfikir yang menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang
berpotensi merubah kepercayaan dan tingkahlaku ke arah yang lebih baik.
Prinsip
nomor 6: Cognitive-Behavior Therapy merupakan edukasi, bertujuan
mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri,
dan menekankan pada pencegahan. Sesi
pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan
yang dihadapinya termasuk proses konseling cognitive-behavior serta
model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi dan
perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi
dan mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian
merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.
Prinsip
nomor 7: Cognitive-Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan
antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu
yang panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan
melatih konseli untuk melakukan self-help.
Prinsip
nomor 8: Sesi Cognitive-Behavior Therapy yang terstruktur.Struktur ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian
awal, menganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian yang
terjadi dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk
setiap sesi konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework
asigment), membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang
telah berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan
dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari
setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat proses
konseling lebih dipahami oleh konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka
mampu melakukan self-help di akhir sesi konseling.
Prinsip
nomor 9: Cognitive-Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan
keyakinan mereka. Setiap hari konseli memiliki
kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi
suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli
dalam mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi
realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan konseli untuk merasa
lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan mengurangi kondisi psikologis
negatif. Konselor juga menciptakan pengalaman baru yang disebut dengan eksperimen
perilaku. Konseli dilatih untuk menciptakan pengalaman barunya dengan cara
menguji pemikiran mereka (misalnya: jika saya melihat gambar
labalaba, maka akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti bisa
menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik).
Dengan cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif. Konselor
dan konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk mengembangkan
respon yang lebih bermanfaat dan akurat.
Prinsip
nomor 10: Cognitive-Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk
merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pertanyaanpertanyaan yang berbentuk sokratik memudahkan
konselor dalam melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan
dalam bentuk sokratik merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling.
Dalam proses konseling, CBT tidak mempermasalahkan konselor menggunakan
teknik-teknik dalam konseling lain seperti kenik Gestalt, Psikodinamik,
Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling yang lebih
saingkat dan memudahkan konelor dalam membantu konseli. Jenis teknik yang
dipilih akan dipengaruhi oleh konseptualisasi konselor tehadap konseli,
masalah yang sedang ditangani, dan tujuan konselor dalam sesi konseling
tersebut.
sumber :
Makalah “Cognitive-Behavior Therapy:
Solusi Pendekatan Praktek Konseling
di Indonesia” oleh Idat Muqodas
di Indonesia” oleh Idat Muqodas
ada daftar pustaka lengkapnya?
BalasHapusiya saya butuh daftar pustaka yang versi lengkap, apakah bisa membantu ?
BalasHapusBagus gan isi artikelnya, tp lebih bagus lagi kalo ada daftar pustaka nya
BalasHapusbagus isinya sangat membantu tapi kurang lengkap,, coba ada proses treatment menggunakan konseling CBT pasti lebih bagus
BalasHapuslbh baik jika ada rujukan reference
BalasHapus