Psikologi Sosial

 Ditulis Oleh; Wahid SUharmawan

A. Pengertian Psikologi Sosial
Psikologi sosial merupakan cabang ilmu dari psikologi yang baru muncul dan intensif dipelajari pada tahun 1930. Secara sederhana objek material dari psikologi sosial adalah fakta-fakta, gejala-gejala serta kejadian-kejadian dalam kehidupan sosial manusia. Sekilas ternyata objek psikologi sosial mirip dengan ilmu sosiolgi dan bila digambarkan sebenarnya psikologi sosial adalah merupakan pertemuan irisan antara ilmo psikologi dan ilmu sosilogi.
Ada berbagai macam definisi psikologi sosial antara lain :
a. Psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia (Hubert Bonner)
b. Ilmu yang memepelajari tingkah laku manusia sebagai anggota suatu masyarakat (AM Chorus)
c. ilmu yang mempelajari Segi-segi psikologi tingkah laku manusia yang dipengarui interaksi sosial
d. Social psychology is the scientific study how people think about, influence, and relato to another (Myers : 1983)
e. Psikologi sosial adalah studi alami tentang sebab-sebab dari perlaku sosial manusia (Michener & Delamater : 1999)

Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia "berupaya memahami, menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya".


B. Pengertian dan Fungsi Attitude (Sikap)
Dalam arti sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Dalam pengertian lebih luas, attitude adalah kecenderungan yang relative stabil dan belangsung secara terus-menerus untuk bertingkah-laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu.
Dilihat dari titik pandang yang sedikit berbeda, sikap (attitude) adalah kecendrungan untuk mereaksi terhadap orang, institusi atau kejadian, baik secara positif maupun negative.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Sikap adalah “ perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pendirian Sikap yang dalam Bahasa Inggris disebut Attitude adalah segala suatu yang bereaksi terhadap suatu perangsang.

Menurut Bruno (1987), sikap (Attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang. Sedangkan menurut Sherif ( 1956) mengartikan sikap dengan sejenis motif sosiogonis yang di peroleh melalui proses belajar. atau kemampuan internal yang berperan sekali mengambil tindakan, lebih – lebih bila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak dan bersedia beberapa alternatif.

Sikap pada aspek afektif merupakan aspek yang menentukan seseorang bertindak, karena kemauan atau kerelaan bertindaklah yang menentukan seseorang berbuat sesuai dengan sikap yang dimilikinya. Namun demikian aspek yang yang lainnya ikut mempengaruhinya.
Sikap dapat didefinisikan sebagai kesiapan sesorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal – hal tertentu.

Fungsi attitude menurut Katz dakam buku Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya adalah sebagai berikut (dalam Azwar, 2005):

1. Fungsi Instrumental, Fungsi Penyesuaian, atau Fungsi Manfaat.
Dalam fungsi ini,individu dengan sikapnyaakan berusaha memaksimalkan hal-hal yang tidak diinginkannya. Individu akan membentuk sikap yang positive pada hal-hal yang dirasakannya akan mendatangkan keuntungan dan begitu juga sebaliknya, individu akan mamberikan sikap negative pada hal-hal yang dirasanya akan merugikan dirinya.

2. Fungsi Pertahanan Ego.
Dalam fungsi ini, sikap merefleksikan problem kepribadian yang tidak terselesaikan. Sewaktu individu mengaami hal yang tidak menyenangkan dan dirasa akan mengancam egonya atau sewaktu ia mengetahui fakta dan kebenaran yang tidak mengenakkan bagi dirinya maka sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut.

3. Fungsi Pernyataan Nilai.
Dalam fungsi ini, sikap digunakan sebagai sarana ekspresi nilai sentral dalam dirinya karena individu mengembangkan sikap tertentu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan nilai yang dianutmya yang sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep dirinya.

4. Fungsi Pengetahuan.
Dalam fungsi ini, manusia mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Jadi sikap berfungsi sebagai suatu skema, yaitu suatu cara strukturisasi agar dunia sekitar tampak logis dan masuk akal.

C. Pembentukan Attitude (Sikap)

Pembentukan sikap tidak terjadi demikian saja, melainkan melalui proses tertentu, melalui kontak sosial terus menerus antara individu dan individu dan orang di sekitarnya.

Adapun pembentukan sikap dapat dilakukan melalui empat macam cara :
a. Adopsi, yaitu kejadian – kejadian atau peristiwa yang terjadi berulang – ulang dan terus menerus lama kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi pembentukan sikap.
b. Diferensiasi, yaitu dengan perkembangan intelegensi, bertambahnya pengalaman sejalan bertambahnya usia, maka ada hal yang tadinya dianggap sejenis, kemudian dipandang tersendiri lepas dari jenisnya.
c. Integrasi, yaitu pembentukan sikap, disini secara bertahap dimulai dari berbagai pengalaman yang berhubungan dengan suatu hal tertentu sehingga akhirnya berbentuk sikap mengenai hal tersebut.
d. Trauma, yaitu pengalaman yang tiba – tiba, mengejutkan, meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Pengalaman yang traumatis dapat juga terbentuknya sikap.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap:
1. Pengalaman pribadi
Dasar pembentukan sikap ialah dengan pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. Sikap mudah terbentuk jika melibatkan faktor emosional.
2. Kebudayaan
Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan. Contohnya adalah pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan dalam pergaulan
3. Orang lain yang dianggap penting (Significant Otjhers)
Orang lain yang dimksud disini yaitu orang-orang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah laku dan opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti khusus. Misalnya adalah orangtua, pacar, suami/isteri, teman dekat, guru, pemimpin. Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap yang searah (konformis) dengan orang yang dianggap penting.
4. Media massa
Media massa berupa media cetak dan elektronik. Dalam penyampaian pesan, media massa membawa pesan-pesan sugestif yang dapat mempengaruhi opini kita. Jika pesan sugestif yang disampaikan cukup kuat, maka akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal hingga membentuk sikap tertentu.
5. Institusi / Lembaga Pendidikan dan Agama
Institusi yang berfungsi meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan seseorang hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang.
6. Faktor Emosional
Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisime pertahanan ego. Dapat bersifat sementara ataupun menetap (persisten/tahan lama). Contoh: Prasangka (sikap tidak toleran, tidak fair)

D. Perubahan Attitude
Attitude (sikap) dapat dibentuk dan dapat pula dirubah. Pembentukan dan perubahan memiliki hubungan keterkaitan yang sangat erat. Seperti halnya pembentukan attitude, perubahan attitude pun dapat dilakukan melalui empat cara yang telah disebutkan sebelumnya pada subbab pembentukan atiitude.
Perubahan Sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
1. Sumber dari pesan
Sumber pesan dapat berasal dari: seseorang, kelompok, institusi. Dua ciri penting dari sumber pesan:
a) Kredibilitas
Semakin percaya dengan orang yang mengirimkan pesan, maka kita akan semakin menyukai untuk dipengaruhi oleh pemberi pesan. Dua aspek penting dalam kredibilitas, yaitu:
- Keahlian
- Kepercayaan
Tingkat kredibilitas berpengaruh terhadap daya persuasif. Bila kredibilitas tinggi maka daya persuasif tinggi. Sebaliknya, bila kredibilitas rendah maka daya persuatif akan rendah pula.
b) Daya Tarik
Kredibilitas masih perlu ditambah daya tarik agar lebih persuatif. Efektivitas daya tarik dipengaruhi oleh:
- daya tarik fisik
- menyenangkan
- kemiripan
2. Pesan (Isi pesan)
Pesan umumnya berupa kata-kata dan simbol-simbol lain yang menyampaikan informasi. Tiga hal yang berkaitan dengan isi pesan:
a. Usulan, merupakan suatu pernyataan yang kita terima secara tidak kritis. Pesan dirancang dengan harapan orang akan percaya, membentuk sikap, dan terhasut dengan apa yang dikatakan tanpa melihat faktanya. Contoh: iklan di TV.
b. Menakuti. Cara lain untuk membujuk adalah dengan menakut-nakuti. Jika terlalu berlebihan maka orang menjadi takut, sehingga informasi justru dijauhi.
c. Pesan Satu sisi dan dua sisi. Pesan satu sisi paling efektif jika orang dalam keadaan netral atau sudah menyukai suatu pesan. Pesan dua sisi lebih disukai untuk mengubah pandangan yang bertentangan.
3. Penerima Pesan

Beberapa ciri penerima pesan:
a. Influenceability
Sifat kepribadian seseorang tidak berhubungan dengan mudahnya seseorang untuk dibujuk, meski demikian:
- anak-anak lebih mudah dipengaruhi daripada orang dewasa
- orang berpendidikan rendah lebih mudah dipengaruhi daripada yang
berpendidikan tinggi

b. Arah Perhatian dan Penafsiran
Pesan akan berpengaruh pada penerima, tergantung dari persepsi dan penafsirannya. Yang terpenting adalah pesan yang dikirim ke tangan orang pertama, mungkin dapat berbeda jika info sampai ke penerima kedua.

c. Kekebalan (saat menerima info yang berlawanan)
Konsekuensi menerima pesan 1 sisi dan 2 sisi:
- Orang yang menerima, beberapa minggu kemudian kelihatan berbeda
pendapat sesuai posisinya
- Pesan yang berlawanan akan lebih efektif pada penerima pesan satu sisi
- Penerima pesan dua sisi lebih memiliki daya tahan terhadap pesan yang
berlawanan

E. Cognitive Consistency

Kognitif konsistensi merupakan keadaan pikiran di mana satu dari kepercayaan, sikap dan semua perilaku kompatibel dengan satu sama lain.

Teori konsistensi kognitif yang tampaknya mensyaratkan bahwa orang haruslah berpikir logis. Leon Festinger (1957) melahirkan teori disonansi kognitif, yang menyatakan bahwa motif yang kuat untuk mempertahankan konsistensi kognitif dapat menimbulkan irasional dan kadang-kadang mempengaruhi perilaku.

Sebagai contoh ketika sedang diet, satu hari Anda menghadapi sebuah hamburger, yang menghasilkan ketidaksesuaian antara sikap dan tingkah laku. Apa yang dapat Anda lakukan?
Saya tidak perlu diet. Mengubah sikap.
Saya sudah sering makan hamburger . Mengubah persepsi perilaku.
Hamburger sangat bergizi. Menambahkan perilaku yang sesuai.
Who cares about diets? Life is short! Meminimalkan pentingnya konflik.
Saya tidak punya pilihan untuk menolak Dianggap mengurangi pilihan


F. Cognitive Dissonance
Cognitive dissonance merupakan kondisi dimana seseorang memiliki keyakinan atau sikap yang bertentangan satu sama lainnya. Jika disonansi kognitif itu muncul, subjek termotivasi untuk mengurangi disonansi melalui perubahan perilaku atau kognisi.

Cognitive Dissonance (disonansi kognitif) juga diartikan sebagai masalah psikologis yang timbul karena adanya ketidak-ajegan (inconsistencies) dalam kognisi.

Tingkat dissonance erat kaitannya dengan derajat prioritas masing-masing orang. Contohnya, bila masalah dashboard dianggap masalah sepele, maka tingkat dissonance bisa diabaikan. Namun, saat membawa mobil anda pulang dan tetangga anda yang paham tentang mobil bertanya “Kenapa kamu membeli mobil itu, mobil itu kan mudah rusak?”, maka tingkat dissonance akan meningkat.

Setiap orang berusaha mengurangi cognitive dissonance. Karena itu, Cognitive dissonance menjadi salah satu motivator. Dalam contoh tadi, tingkat cognitive dissonance yang tinggi terhadap mobil tersebut mendorong konsumen mencari hal-hal yang bisa membenarkan keputusannya, sehingga dia yakin telah melakukan pembelian secara benar.

Tak heran banyak iklan justru ditujukan pada pembeli produk, agar mereka terbantu mengatasi cognitive dissonance, untuk meyakinkan tepatnya putusan mereka sehingga mau membeli produk itu lagi atau setidaknya merekomendasikan pada orang lain kelebihan produk tersebut. Cognitive dissonance meningkat jika konsumen melakukan pembelian yang tidak diinginkan atau jika konsumen merasa tidak puas, khususnya jika perasaan tidak puas sudah ada sebelum terjadi pembelian. Pada saat kita merasa tidak puas itulah muncul cognitive dissonance. Meskipun kita merasa puas, tetapi karena masih ada keraguan, maka tetap muncul cognitive dissonance. Jadi cognitive dissonance tidak sama dengan ketidakpuasan. Memang ketidakpuasan menyebabkan cognitive dissonance, tetapi konsumen bisa juga mengalami cognitive dissonance walau telah puas dengan produk yang dibelinya jika pikirannya tidak konsisten.

G. Self concept Theory

Diri menjadi fokus utama psikologi sosial karena diri membantu mengorganisasikan dan membimbing perilaku sosial kita. Konsep diri kita tidak hanya identitas atau atribut pribadi namun juga mencakup identitas sosial.
Konsep diri terbentuk akibat pengalaman interaksi dengan orang lain yaitu dengan menemukan apa yang orang lain pikirkan tentang diri individu tersebut. Ini yang disebut dengan penaksiran yang direfleksikan dan ini merupakan hal penting dalam pembentukan konsep diri. Penaksiran diri (reflected apprasial) menunjuk pada ide bahwa manusia menaksir dirinya sendiri dengan mereflksikan atau bercermin dari bagaimana orang menaksir dirinya “looking glass self”. Jadi hakekat konsep diri sesungguhnya merupakan membayangkan apa yang orang lain pikirkan tentang diri sendiri.
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya.

Definisi yang lebih rinci lagi adalah sebagai berikut :
a. Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri sifat ) yang dimiliki (Brehm & Kassin, 1993).

b. Atau juga diartikan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dimilki individu tentang karakteristik dan ciri-ciri pribadinya (Worchel, 2000).

c. Definisi lain menyebutkan bahwa Konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang mengenai dirinya sendiri. Hal ini meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri

d. Those physical, social and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others (William D Brooks : 1974)

Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain.

Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.

Ada dua komponen dalam konsep diri yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif disebut sebagai citra diri (self image) sedangkan komponen afektif adalah harga diri (self esteem).

Proses Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya.

Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya : suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb - dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif.

Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah. Bisa saja saat itu ia jadi merasa “bodoh”, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai.
Dalam konsep diri ini terdapat beberapa unsur antara lain:

1. Penilaian diri merupakan pandangan diri terhadap:
• Pengendalian keinginan dan dorongan-dorongan dalam diri. Bagaimana kita mengetahui dan mengendalikan dorongan, kebutuhan dan perasaan-perasaan dalam diri kita.
• Suasana hati yang sedang kita hayati seperti bahagia, sedih atau cemas. Keadaan ini akan mempengaruhi konsep diri kita positif atau negatif.

• Bayangan subyektif terhadap kondisi tubuh kita. Konsep diri yang positif akan dimiliki kalau merasa puas (menerima) keadaan fisik diri sendiri. Sebaliknya, kalau merasa tidak puas dan menilai buruk keadaan fisik sendiri maka konsep diri juga negatif atau akan jadi memiliki perasaan rendah diri.

2. Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana individu menerima penilaian lingkungan sosial pada diri nya. Penilaian sosial terhadap diri yang cerdas, supel akan mampu meningkatkan konsep diri dan kepercayaan diri. Adapun pandangan lingkungan pada individu seperti si gendut, si bodoh atau si nakal akan menyebabkan individu memiliki konsep diri yang buruk terhadap dirinya.

3. Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau citra diri, yaitu merupakan gambaran:
• Siapa saya, yaitu bagaimana kita menilai keadaan pribadi seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi keluarga atau peran lingkungan sosial kita.

• Saya ingin jadi apa, kita memiliki harapan-harapan dan cita-cita ideal yang ingin dicapai yang cenderung tidak realistis. Bayang-bayang kita mengenai ingin jadi apa nantinya, tanpa disadari sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh ideal yang yang menjadi idola, baik itu ada di lingkungan kita atau tokoh fantasi kita.

• Bagaimana orang lain memandang saya, pertanyaan ini menunjukkan pada perasaan keberartian diri kita bagi lingkungan sosial maupun bagi diri kita sendiri.
Konsep diri yang terbentuk pada diri juga akan menentukan penghargaan yang berikan pada diri. Penghargaan terhadap diri atau yang lebih dikenal dengan self esteem ini meliputi penghargaan terhadap diri sebagai manusia yang memiliki tempat di lingkungan sosial. Penghargaan ini akan mempengaruhi dalam berinteraksi dengan orang lain.

Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Berbagai faktor dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang. Secara umum konsep diri dipengaruhi oleh orang lain dan kelompok rujukan. Manusia mengenal dirinya secara kodrati didahului oleh pengenalan terhadap orang lain terlebih dahulu, namun tidak semua orang mempunyai pengaruh yang sama. Yang paling berpengaruh adalah orang lain yang paling dekat dengan diri kita yang terbagi 3 golongan. Golongan pertama disebut sebagai significant others yaitu orang tua dan saudara). Golongan ke dua disebut sebagai affective others yaitu orang lain yang memiliki ikatan emosional seperti sahabat karib. Golongan ke tiga disebut sebagai generalized otheri yaitu keseluruhan dari orang-orang yang dianggap memberikan penilaian terhadap diri sendiri.

Sementara kelompok rujukan mempengaruhi konsep diri karena ikatan-ikatan norma-norma yang dilekatkan pada diri manusia. Sehingga konsep diri terbentuk karena penyesuain diri dengan norma-norma yang berlaku dalam kelompok tersebut.

Namun secara detail konsep diri dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tersebut di bawah ini :

• Pola asuh orang tua
Pola asuh orang tua seperti sudah diuraikan di atas turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang

• Kegagalan
Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.

• Depresi
Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah pesta, maka berpikir bahwa karena saya “miskin” maka saya tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan orang

• Kritik internal
Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik


H. Persepsi
Persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus ini dalam lingkungan.
Melalui persepsilah manusia memandang dunianya. Apakah dunia terlihat “berwarna” cerah, pucat, atau hitam, semuanya adalah persepsi manusia yang bersangkutan. Persepsi harus dibedakan dengan sensasi [sensation]. Sensasi merupakan fungsi fisiologis, dan lebih banyak tergantung pada kematangan dan berfungsinya organ-organ sensoris. Sensasi meliputi fungsi visual, audio, penciuman dan pengecapan, serta perabaan, keseimbangan dan kendali gerak. Kesemuanya inilah yang sering disebut indera.

Jadi dapat dikatakan bahwa sensasi adalah proses manusia dalam dalam menerima informasi sensoris [energi fisik dari lingkungan] melalui penginderaan dan menerjemahkan informasi tersebut menjadi sinyal-sinyal “neural” yang bermakna. Misalnya, ketika seseorang melihat (menggunakan indera visual, yaitu mata) sebuah benda berwarna merah, maka ada gelombang cahaya dari benda itu yang ditangkap oleh organ mata, lalu diproses dan ditransformasikan menjadi sinyal-sinyal di otak, yang kemudian diinterpretasikan sebagai “warna merah”.

Berbeda dengan sensasi, persepsi merupakan sebuah proses yang aktif dari manusia dalam memilah, mengelompokkan, serta memberikan makna pada informasi yang diterimanya. Benda berwarna merah akan memberikan sensasi warna merah, tapi orang tertentu akan merasa bersemangat ketika melihat warna merah itu, misalnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, secara sengaja atau tidak, kita akan lebih memperhatikan stimulus tertentu dibandingkan yang lainnya. Artinya, kita menjadikan suatu informasi menjadi figure, dan informasi lainnya menjadi ground. Salah satu fenomena dalam psikologi yang menggambarkan prinsip ini adalah, orang cenderung mendengar apa yang dia ingin dengar, dan melihat apa yang ingin dia lihat.

Di samping faktor-faktor teknis seperti kejelasan stimulus [mis. suara yang jernih, gambar yang jelas], kekayaan sumber stimulus [mis. media multi-channel seperti audio-visual], persepsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis. Faktor psikologis ini bahkan terkadang lebih menentukan bagaimana informasi / pesan / stimulus dipersepsikan.

Faktor yang sangat dominan adalah faktor ekspektansi dari si penerima informasi sendiri. Ekspektansi ini memberikan kerangka berpikir atau perceptual set atau mental set tertentu yang menyiapkan seseorang untuk mempersepsi dengan cara tertentu. Mental set ini dipengaruhi oleh beberapa hal.

Ketersediaan informasi sebelumnya; ketiadaan informasi ketika seseorang menerima stimulus yang baru bagi dirinya akan menyebabkan kekacauan dalam mempersepsi. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan misalnya, ada materi pelajaran yang harus terlebih dahulu disampaikan sebelum materi tertentu. Seseorang yang datang di tengah-tengah diskusi, mungkin akan menangkap hal yang tidak tepat, lebih karena ia tidak memiliki informasi yang sama dengan peserta diskusi lainnya. Informasi juga dapat menjadi cues untuk mempersepsikan sesuatu.

Kebutuhan; seseorang akan cenderung mempersepsikan sesuatu berdasarkan kebutuhannya saat itu. Contoh sederhana, seseorang akan lebih peka mencium bau masakan ketika lapar daripada orang lain yang baru saja makan.

Pengalaman masa lalu; sebagai hasil dari proses belajar, pengalaman akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan sesuatu. Pengalaman yang menyakitkan ditipu oleh mantan pacar, akan mengarahkan seseorang untuk mempersepsikan orang lain yang mendekatinya dengan kecurigaan tertentu. Contoh lain yang lebih ekstrim, ada orang yang tidak bisa melihat warna merah [dia melihatnya sebagai warna gelap, entah hitam atau abu-abu tua] karena pernah menyaksikan pembunuhan. Di sisi lain, ketika seseorang memiliki pengalaman yang baik dengan bos, dia akan cenderung mempersepsikan bosnya itu sebagai orang baik, walaupun semua anak buahnya yang lain tidak senang dengan si bos.

Prinsip-prinsip persepsi

Sebagian besar dari prinsip-prinsip persepsi merupakan prinsip pengorganisasian berdasarkan teori Gestalt. Teori Gestalt percaya bahwa persepsi bukanlah hasil penjumlahan bagian-bagian yang diindera seseorang, tetapi lebih dari itu merupakan keseluruhan [the whole]. Teori Gestalt menjabarkan beberapa prinsip yang dapat menjelaskan bagaimana seseorang menata sensasi menjadi suatu bentuk persepsi.

Gambar berikut menunjukkan bahwa persepsi manusia bukanlah hasil penjumlahan unsur-unsurnya [segitiga terbalik ditambah bujursangkar biru yang terpotong], tetapi seseorang dapat melihat ada segitiga putih di tengah walau tanpa garis yang membentuk segitiga tersebut.

Prinsip persepsi yang utama adalah prinsip figure and ground. Prinsip ini menggambarkan bahwa manusia, secara sengaja maupun tidak, memilih dari serangkaian stimulus, mana yang menjadi fokus atau bentuk utama [=figure] dan mana yang menjadi latar [=ground].

Contoh gambar gadis dan nenek, menunjukkan bahwa seseorang dapat menjadikan bentuk gadis sebagai figure, dan detil yang lain sebagai ground, atau sebaliknya.


Beberapa contoh visual lain dapat dilihat berikut ini.

Dalam kehidupan sehari-hari, secara sengaja atau tidak, kita akan lebih memperhatikan stimulus tertentu dibandingkan yang lainnya. Artinya, kita menjadikan suatu informasi menjadi figure, dan informasi lainnya menjadi ground. Salah satu fenomena dalam psikologi yang menggambarkan prinsip ini adalah, orang cenderung mendengar apa yang dia ingin dengar, dan melihat apa yang ingin dia lihat.

Di samping faktor-faktor teknis seperti kejelasan stimulus [mis. suara yang jernih, gambar yang jelas], kekayaan sumber stimulus [mis. media multi-channel seperti audio-visual], persepsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis. Faktor psikologis ini bahkan terkadang lebih menentukan bagaimana informasi / pesan / stimulus dipersepsikan.

Faktor yang sangat dominan adalah faktor ekspektansi dari si penerima informasi sendiri. Ekspektansi ini memberikan kerangka berpikir atau perceptual set atau mental set tertentu yang menyiapkan seseorang untuk mempersepsi dengan cara tertentu. Mental set ini dipengaruhi oleh beberapa hal.

Ketersediaan informasi sebelumnya; ketiadaan informasi ketika seseorang menerima stimulus yang baru bagi dirinya akan menyebabkan kekacauan dalam mempersepsi. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan misalnya, ada materi pelajaran yang harus terlebih dahulu disampaikan sebelum materi tertentu. Seseorang yang datang di tengah-tengah diskusi, mungkin akan menangkap hal yang tidak tepat, lebih karena ia tidak memiliki informasi yang sama dengan peserta diskusi lainnya. Informasi juga dapat menjadi cues untuk mempersepsikan sesuatu.

Kebutuhan; seseorang akan cenderung mempersepsikan sesuatu berdasarkan kebutuhannya saat itu. Contoh sederhana, seseorang akan lebih peka mencium bau masakan ketika lapar daripada orang lain yang baru saja makan.

Pengalaman masa lalu; sebagai hasil dari proses belajar, pengalaman akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan sesuatu. Pengalaman yang menyakitkan ditipu oleh mantan pacar, akan mengarahkan seseorang untuk mempersepsikan orang lain yang mendekatinya dengan kecurigaan tertentu. Contoh lain yang lebih ekstrim, ada orang yang tidak bisa melihat warna merah [dia melihatnya sebagai warna gelap, entah hitam atau abu-abu tua] karena pernah menyaksikan pembunuhan. Di sisi lain, ketika seseorang memiliki pengalaman yang baik dengan bos, dia akan cenderung mempersepsikan bosnya itu sebagai orang baik, walaupun semua anak buahnya yang lain tidak senang dengan si bos.

Contoh gambar yang menjelaskan faktor-faktor di atas adalah berikut ini.

Perhatikan gambar berikut, gambar apa yang Anda lihat?

Apakah Anda melihat gambar lumba-lumba? Apakah setelah diberikan ada cue / tanda bahwa ada gambar lumba-lumba, Anda kemudian baru bisa melihatnya?

Faktor psikologis lain yang juga penting dalam persepsi adalah berturut-turut: emosi, impresi dan konteks.

Emosi; akan mempengaruhi seseorang dalam menerima dan mengolah informasi pada suatu saat, karena sebagian energi dan perhatiannya [menjadi figure] adalah emosinya tersebut. Seseorang yang sedang tertekan karena baru bertengkar dengan pacar dan mengalami kemacetan, mungkin akan mempersepsikan lelucon temannya sebagai penghinaan.

Impresi; stimulus yang salient / menonjol, akan lebih dahulu mempengaruhi persepsi seseorang. Gambar yang besar, warna kontras, atau suara yang kuat dengan pitch tertentu, akan lebih menarik seseorang untuk memperhatikan dan menjadi fokus dari persepsinya. Seseorang yang memperkenalkan diri dengan sopan dan berpenampilan menarik, akan lebih mudah dipersepsikan secara positif, dan persepsi ini akan mempengaruhi bagaimana ia dipandang selanjutnya.

Konteks; walaupun faktor ini disebutkan terakhir, tapi tidak berarti kurang penting, malah mungkin yang paling penting. Konteks bisa secara sosial, budaya atau lingkungan fisik. Konteks memberikan ground yang sangat menentukan bagaimana figure dipandang. Fokus pada figure yang sama, tetapi dalam ground yang berbeda, mungkin akan memberikan makna yang berbeda.

I. Impression Formation
Pengetahuan kita tentang dan harapan kita atas orang-orang lain pertama kali ditentukan oleh kesan yang kita bentuk dari mereka. Jika dua orang betemu, meski hanya sekejap, mereka saling membentuk kesan satu sama lain. Dalam hubungan selanjutnya, mereka membentuk kesan lebih mendalam yang menentukan perilaku mereka satu sama lain, apakah mereka akan bekerja sama, dan sebagainya. Orang menggunakan informasi apa saja yang dapat diperoleh guna membentuk kesan terhadap orang lain, untuk menilai kepribadian serta hipotesis mereka tentang macam orang yang bagaimana mereka itu.
Orang cenderung membentuk kesan panjang lebar atas orang lain berdasarkan informasi terbatas. hanya dengan melihat seseorang atau sebuah potret selama beberapa menit saja, orang sudah cenderung menilai sebagian besar karakteristik orang tersebut. Meski biasanya individu tidak terlalu percaya pada pendapat yang dibentuk dengan cara demikian, namun mereka umumnya bersedia menilai inteligensia, usia, latar belakang, ras, agama, tingkat pendidikan, kejujuran, kehangatan orang lain dan sebagainya. Mereka juga menceritakan seberapa besar rasa suka mereka terhadap seseorang, jika mereka telah mengenalnya lebih jauh, dan berapa besar rasa suka mereka terhadap orang itu sekarang.

Aspek kesan pertama yang paling penting dan kuat adalah evaluasi. Apakah kita menyukai atau membenci seseorang. Berapa besar rasa suka atau benci kita terhadap orang tersebut. Kesan kita saat itu dapat tersusun atas berbagai dimensi lain; dia mungkin kelihatan bersahabat, senang mengobrol, dan ringan tangan. akan tetapi, semua ciri khusus ini secara fundamental terikat pada pernyataan apakah kita menyukainya atau tidak.


J. Atribusi
Membentuk kesan tentang orang lain merupakan salah satu kegiatan utama dalam interaksi sosial. Tugas utama yang kedua adalah memahami makna dan sebab perilaku mereka. Makna dan perilaku itu seringkali bermakna ganda. Misalnya, seorang atlit terkenal mempromosikan sereal untuk makan pagi di televisi. Mengapa dia melakukan hal itu? Apakah memang dia menyukainya? Atau apakah ia melakukan hal itu karena uang?
Kasus di atas menimbulkan masalah atribusi. Penelitian tentang proses atribusi telah menjadi pusat perhatian dalam psikologi sosial; tujuannya adalah menemukan aturan yang kita gunakan dan kesalahan yang kita lakukan ketika mencoba menafsirkan perilaku (Heider, 1958;Kelly, 1967).

Atribusi dapat diartikan proses bagaimana kita mencoba menafsirkan dan mencoba menjelaskan perilaku orang lain, yaitu untuk melihat sebab tindakan mereka. Tugas atribusi yang utama adalah memutuskan apakah tindakan seseorang harus dihubungkan dengan sebab disposisi (kepribadian atau sikap orang tersebut) atau pada sebab situasional (kekuatan sosial atau kekuatan eksternal lainnya).

Orang-orang tampaknya berpatokan pada kaidah tertentu pada waktu membuat atribusi. Kaidah kovarians menyatakan bahwa perilaku berkaitan dengan variabel yang tampaknya berkovari (ada secara bersama-sama) menurut kriteria kekhasan, keajekan, dan konsensus. Menurut teori pengabaian, kita cenderung mengabaikan peran sebab tertentu jika ada sebab lain yang tampaknya masuk akal. Namun, semua kaidah ini tidak selalu digunakan dengan benar. khususnya, kita cenderung memberi bobot terlalu berat pada faktor disposisi dan sedikit sekali pada faktor situasional. Bias ini disebut dengan kesalahan atribusi yang mendasar (fundamental attribution error).

Banyak prinsip pengolahan skema dan atribusi dapat diterapkan pada proses persepsi diri. Misalnya, orang adakalanya melakukan kesalahan atribusi mendasar tentang perilaku mereka sendiri, walaupun bias disposisi tampaknya lebih kuat pada mereka dalam menilai perilaku orang lain.

K. Daya Tarik

Dari seluruh sikap kita,yang terpenting mungkin adalah sikap kita terhadap orang lain. Mungki tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa memupuk hubungan pribadi merupakan prioritas utama bagi banyak orang di sepanjang waktu. Oleh karena itu, para pakar psikologi sosial telah lama tertarik pada faktor yang menimbulakan daya tarik/kesukaan antarpribadi.
Hal-hal berikut adalah penentu yang menimbulkan daya tarik antarpribadi:

1. Kedekatan
Orang yang dekat secara fisik dengan kita cenderung lebih akrab dan seringkali, secara kebetulan, mempunyai kesamaan latar belakang atau minat dengan kita. Teori pertukaran sosial menyatakan bahwa orang yang dekat akan lebih mudah ditemukan untuk berinteraksi, sehingga biasanya kerugian hubungan lebih kecil. Menurut teori kesimbangan kognitif, kita akan mengalami tekanan psikologik untuk menyukai orang yang berinteraksi dengan kita.

2. Keakraban
Keakraban juga meningkatkan rasa suka. eksposur yang berulang pasti meningkatkan pengenalan kita tentang seseorang, dan mungkin ini adalah langkah awal yang berguna untuk menyukainya. Bila orang semakin dikenal, mereka juga semakin dapat diduga. Semakin sering kita melihat tetangga baru di lingkungan rumah kita, Semakin banyakyang kita pelajari tentang dia dan semakin baik prediksi yang dapat kita buat tentang bagaimana ia akan berprilaku di halaman rumah dan di pertemuan wilayah. Akibatnya kita merasa lebih nyaman bila dia hadir.

3. Persamaan
Kita cenderung menyukai orang yang mempunyai kesamaan sikap, nilai, minat, latar belakang, dan kepribadian dengan kita. Dalam kencan dan pernikahan, kecenderungan memilih pasangan yang mempunyai kesamaan disebut ”prinsip kesesuaian”. Makna penting kesamaan dapat dijelaskan melalui ganjaran, keseimbangan kognitif dan teori nilai-ekspetasi tentang pengambilan keputusan.

L. Love
Cinta dan balada kasih sudah sejak lama menjadi topik favorit para penyair dan pengarang lagu. Baru akhir-akhir ini para peneliti mulai menggunakan berbagai piranti psikologis untuk mempelajari gejala ini secara lebih sistematis.
Para peneliti telah mengidentifikasikan enam cara yang biasa digunakan orang untuk mendefinisikan kata ini (Lasswell & Lobsenz, 1980; Lee, 1983). Bentuk-bentuk cinta ini merupakan bentuk-bentuk yang murni; biasanya orang memberikan definisi yang merupakan kombinasi lebih dari satu bentuk murni.

1. Cinta Romantik. Cinta yang ditandai dengan pengalaman-pengalaman emosional.

2. Cinta Memiliki. Cinta yang mengakibatkan orang yang mengalaminya menjadi sangat tergantung pada orang yang dicintai tersebut.

3. Cinta Kawan Baik. Cinta yang mengutamakan keakraban yang menyenangkan.

4. Cinta Pragmatik. Cinta yang menuntut adanya pasangan yang serasi dan hubungan yang berjalan baik.

5. Cinta Altruistik. Cinta yang ditandai adanya perhatian, keinginan untuk selalu memberikan sesuatu, dan selalu siap memaafkan pasangannya.

6. Cinta Main-main. Dalam Bentuk cinta ini, yang paling penting adalah strategi, dan keterikatan biasanya dihindari.
Salah satu peneliti pertama yang mempelajari cinta romantis adalah Zick Rubin (1970,1973). Dia merasa tertarik untuk mempelajari hubungan antara cinta dan rasa suka. Salah satu pandangan mengatakan bahwa cinta adalah hanya bentuk rasa suka yang amat kuat. Sejalan dengan sudut pandang ini, perasaan tertarik yang positif mempunyai rentang sepanjang suatu kontinuum, mulai dari rasa suka yang lemah, sampai yang kuat.

Sedangkan pandangan yang berlawana dengan yang pertama tadi, yang dianggap lebih unggul oleh Rubin, mengatakan bahwa cinta dan rasa suka memiliki unsur-unsur yang berbeda dan merupakan dua dimensi yang berlawanan. Pandangan ini nampaknya sesuai dengan pepatah kuno yang mengatakan bahwa bisa saja seseorang menyukai orang lain tapi tidak tidak merasa jatuh cinta kepadanya.

Skala cinta Rubin mengkonsepkan cinta sebagai suatu sikap terhadap orang lain, sebagai suatu himpunan pikiran yang khusus tentang orang yang dicintai.. Menurut rubin, ada tiga tema yang tercermin dalam pernyataan-pernyataan dalam skalanya. Tema pertama, yang disebut oleh Rubin sebagai kasih sayang, merupakan perasaan membutuhkan dan mendesak. Contoh pernyataan dalam tema ini adalah, ” Rasanya sulit bagi saya untuk hidup tanpa.....”. Pernyataan ini mencerminkan kesadaran seseorang tentang ketergantungannya pada orang lain untuk mendapatkan ganjaran yang berharga. Tema yang kedua adalah keinginan untuk memberi perhatian pada seseorang seperti tergambar dalam pernyataan, ” Saya ingin melakukan segala sesuatu untuk....”. Hasrat untuk mengutamakan kesejahteraan seseorang dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhannya merupakan inti dari tema ini. Tema ketiga menekankan pada rasa percaya dan pengungkapan diri. Gagasan cinta ini berlawanan dengan Skala Rasa Suka, yang berkaitan dengan keyakinan bahwa seseorang itu menyenangkan, cerdas, mudah menyesuaikan diri, memiliki daya timbang yang baik, dan lain-lain.

Salah satu gambaran yang sering digunakan sebagai titik acuan untuk membedakan hubungan cinta dan persahabatan adalah pengalaman gejala fisik. Untuk mempelajari hal ini, Kanin, Davidson, dan Scheck (1970) meminta 679 mahasiswa untuk menilai perasaan yang mereka alami dalam pengalaman cinta yang paling akhir secara berurutan sesuai dengan kekuatannya.

Perasaan yang paling sering muncul adalah adanya perasaan sejahtera yang kuat (79%) dan merasa sulit memusatkan pikiran (37%). Perasaan-perasaan yang lain adalah perasaan seperti melambung keawan (29%), ingin lari, lompat dan berteriak (22%), merasa gelisah sebelum berkencan (22%), dan perasaan bingung dan senang (20%). Adakalanya juga muncul sensasi-sensasi jasmaniah yang kuat, seperti tangan menjadi dingin, tidak enak perut, atau geli di punggung (20%) dan insomia (12%).

Para peneliti berhasil menemukan adanya perbedaan isi pengalaman perasaan antara pria dan wanita, dimana wanita lebih sering mengalami emosi yang kuat. Dion dan Dion (1973), melalui hasil penelitiannya, turut memperkuat pendapat tadi: Kaum wanita lebih sering mengalami euforia yang berkaitan dengan cinta. Apakah hasil ini mencerminkan perbedaan jenis kelamin aktual dalam pengalaman cinta atau karena keinginan untuk mengungkapkan diri yang lebih besar pada wanita, belum diketahui.

from: lasyithaanindiya.blogspot.com

1 komentar:

  1. mau tanya dong, kenapa konselor harus selalu bersikappositif???

    BalasHapus

Mohon untuk Komentar ANDA.........................